Pada saat kegiatan pembelajaran tematik, yaitu pembelajaran dengan belajar berbasis proyek, yang akan mengeksplorasi satu tema dari berbagai mata pelajaran yang ada di kelas dalam durasi waktu tertentu, Maka jika ada pertanyaan:
- Ada berapa soal yang keluar dalam ulangan atau dalam Ujian Nasional (UN) nanti dari kegiatan belajar seperti ini?
- Mengapa siswa tidak belajar meguasai materi pelajaran yang akan masuk dalam soal ulangan atau UN saja agar mereka menjadi siap?
- Kalau yang keluar hanya 1 atau 2 soal saja, apakah kegiatan belajar seperti ini hanya buang-buang waktu?
Menurut saya, dari pertanyaan-pertanyaan itu ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil sebagai kesimpulan awal. Hikmah itu adalah sebagai berikut:
Pertama; Tentang paradigma belajar.
Sebagian kita memahami bahwa belajar adalah ketika anak membuka buku pelajaran sekolah yang berupa buku sumber atau buku pegangan siswa. Maka ketika anak membaca buku cerita, membaca fiksi, membaca ensiklopedia, membaca kamus, mambaca majalah atau bahkan mengisi TTS di surat kabar, searching tentang sesuatu sebagai langkah untuk mampu memberikan jawaban kepadanya, maka anak tidak sedang belajar?
Maka ketika anak mempelajari sejarah perjuangan bangsa, dan anak diminta menuliskan kembali cerita tersebut dalam bentuk teks drama yang kemudian harus didramatisasikan dalam kelompok, bukan ini sebagai kegiatan belajar? Kalau demikian maka belajar adalah seluruh aktivitas yang anak lakukan kapan saja dan dimana saja dan dengan siapa saja yang kemudian ada proses pengambilan hikmah setelah kegiatan tersebut dilakukannya.
Kedua, tentang paradigma hasil belajar.
Bahwa nilai ulangan anak atau Ujian Nasional atau UN yang terdiri dari 3 mata pelajaran di SD atau 4 mata pelajaran di SMP, semestinya dilihat sebagai salah satu dari hasil belajar. Sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Benjamin S Bloom, terdapat 3 ranah hasil belajar. Yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif adalah ranah yang menuntut kepandaian akademik. Ranah afektif adalah ranah sikap. Dan ranah psikomotorik adalah ranah fisik.
Dan UAS atau UN hanya mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Itupun tidak mengukur 6 aspek yang terdapat dalam ranah tersebut. Yang diukur barulah pada tiga aspek kognitif, yaitu aspek mengingat, aspek memahami dan aspek aplikasi. Sedang tiga aspek yang tidak diukur adalah aspek aspek analisa, aspek evaluasi dan aspek mencipta. Dimana ketiga aspek terakhir masuk dalam tataran berpikir tingkat dalam.
Ketiga, Tentang belajar yang holistik.
Dengan melihat bahwa terdapat tiga ranah belajar sebagaimana yang dikemukakan oleh tokoh pendidikan Bloom tersebut, maka seharusnyalah kita memaknai bahwa mendidik adalah membuat seorang anak menjadi cerdas kognitif atau cerdas akademik, cerdas afektif atau cerdas afeksi dan cerdas psikomotorik. Inilah hasil belajar holistik.
Belajar yang holistik tidak melihat bahwa hasil UAS/UN tidak penting, tetapi ia dilihat sebagai salah satu instrumen keberhasilan dalam belajar. Jadi tetap dipandang sebagai proses yang penting. Tetapi pengembangan afektif dan psikomotorik tetap tidak dilupakan. Bentuknya pengembangan pada ranah tersebut salah satunya adalah melalui kegiatan drama, pertujukan kelas, kegiatan luar ruang kelas, eksplorasi lingkungan hidup anak, membuat laporan membaca, menyusun proposal kegiatan, dan lain-lain.
Itulah makna belajar menurut saya sebagai guru.